Bank Dunia menyebutkan bahwa rata-rata tingkat inklusi keuangan atau akses masyarakat terhadap lembaga keuangan di negara-negara ASEAN mencapai 41% dari total populasi. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan masih tingginya kesenjangan pencapaian inklusi keuangan di antara negara-negara ASEAN.
“Beberapa negara memiliki tingkat inklusi keuangan yang sangat rendah yang menunjukkan kesenjangan antara negara-negara ASEAN. Ini dimulai dengan inklusi,” kata Sri Mulyani dalam Dialog Tingkat Tinggi tentang Mendorong Inklusi dan Literasi Keuangan Digital untuk UKM di Nusa Dua, Bali, Rabu ( 29). / 3).
Sri Mulyani mengutip data Global Financial Index 2021 yang dirilis Bank Dunia. Berdasarkan data tersebut, Kamboja dan Laos memiliki indeks inklusi keuangan terendah yaitu hanya mencapai 33% dan 37%, sedangkan Singapura memiliki indeks inklusi keuangan tertinggi yaitu mencapai 98%.
Berdasarkan data tersebut, Indonesia sendiri memiliki indeks inklusi keuangan sebesar 52%. Namun berdasarkan data terbaru OJK yang dirilis tahun lalu, indeks literasi keuangan Indonesia kini telah mencapai 82,5%.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap layanan keuangan merupakan faktor kritis bagi perekonomian banyak negara ASEAN. Akses terhadap jasa keuangan penting dalam mengembangkan usaha UKM yang menjadi kontributor utama perekonomian daerah.
Ia mengatakan, kontribusi UKM terhadap penciptaan lapangan kerja di ASEAN mencapai 35% hingga 97%, sedangkan produk domestik bruto (PDB) di ASEAN mencapai 35% hingga 69%. Khusus di Indonesia, UKM menyumbang 61% dari PDB dan 90-97% dari lapangan kerja.
Menurut Sri Mulyani, inklusi keuangan UMKM merupakan salah satu agenda penting dalam ekonomi ASEAN, seperti Indonesia. Pengembangan ekosistem digital untuk memberdayakan UMKM akan menciptakan peluang untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, seperti mengurangi kemiskinan, lapangan kerja, dan ketimpangan.
“Inklusi keuangan bagi UKM merupakan level strategis dalam kerangka ekonomi digital,” ujarnya.